Kisah Daeng Mabanni Tomatindo di Langgana

Info KaMAr TV News _ (Sejarah Mandar) Dalam lembaran sejarah Mandar yang dipenuhi darah dan keberanian, terpatri sebuah kisah agung tentang seorang tokoh yang tak hanya memanggul gelar, namun juga beban zaman— *Daeng Mabanni*, yang masyhur dikenal sebagai _Tomatindo di Langgana_.

Setelah gugurnya Daeng Mallari, sang Raja ke-10 Balanipa, dalam pertempuran dahsyat di Galesong—di mana ombak sejarah bergemuruh menentang penjajahan VOC demi membantu Sultan Hasanuddin—tanah Mandar jatuh dalam kedukaan nan pekat. Langit seolah runtuh bersama kehilangan sosok pemimpin, dan pada saat itulah, Dewan Hadat melirik kepada sosok yang berdiri di balik bayang, pewaris darah dan watak, sepupu mendiang sang raja: *Daeng Mabanni*.

Ia naik takhta bukan sekali, namun tiga kali: sebagai Raja ke-11, ke-13, dan ke-17 Balanipa. Bukan karena ambisi, namun karena zaman terus memanggilnya pulang—setiap kali negeri ini memerlukan pengayom dan nyala api perlawanan.

Namun takdirnya bukanlah takhta yang berselimut kemewahan. *Saat Arung Palakka, dalam pelukan maut VOC, menggulung tanah Mandar dengan pasukan bersenjatakan niat penaklukan*, negeri ini kembali diguncang badai. Laut dan darat berubah jadi medan nestapa, darah mengalir di antara batu karang, dan desa-desa terbakar oleh api perang.

Pasukan Mandar terpukul mundur, menyusun kekuatan di perut-perut rimba. Namun semangat mereka—ah, tak sudi padam. Meski langit tampak redup dan bumi bergetar oleh derap musuh, nyala perjuangan menyala dalam dada mereka seperti bara yang menolak padam oleh hujan.

Di tengah gentingnya zaman, Daeng Mabanni memanggil para bangsawan, tetua adat, dan tokoh negeri ke suatu musyawarah agung. Dalam keheningan yang membelenggu udara, ia berdiri dan berkata, suaranya berat namun jujur:

> “Siapa di antara kalian yang sanggup memanggul negeri ini dalam badai, maka izinkan takhta ini kulepaskan. Aku rela dipimpin, demi negeri.”

Sunyi. Waktu seakan menahan napasnya. Hingga dari tengah ruangan, melangkahlah seorang tokoh berjiwa baja: *Daeng Riosok*. Ia, yang dikenal sebagai bayang-bayang keberanian Mandar, berseru dengan suara lantang:

> _"INDITIA TOMMOANE BANNANG PUTEH, SARANA MELO DICINGGA, MELO DI LANGO LANGO!"_

Teriakannya mengguncang ruang dan hati. Seakan roh para leluhur bangkit mendengar seruan itu.

Hari itu, semangat Mandar tak lagi ditopang semata garis keturunan, tapi oleh kekuatan jiwa dan keberanian. Sebuah babak baru pun dibuka—saat darah rakyat dan kehendak langit berpadu melawan tirani.

By Tasriq

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sampai Pencarian dihentikan Basarnas belum menemukan Muhammad Rifki Siswa MTsN 2 Majene

*Muhammad Rifki Sahy Ditemukan Meninggal Dunia di Pantai Pamboang*

Kunjungan Kerja Pengawas Gabungan Kantor Kemenag Majene di MTsN 2 Majene