Daeng Riosok, Bayang Takhta, Luka Cinta_
Bab I: Langit di Atas Somba Opu
Langit Makassar kala itu tidak berwarna biru. Ia terbakar merah darah dan menyatu dengan dentum meriam dari kapal-kapal VOC yang membelah ombak dengan amarah. Bau mesiu bercampur garam laut menusuk hidung, menebar isyarat bahwa dunia lama sedang menuju tepi kehancuran.
Di balik benteng Somba Opu, seorang pria berdiri tegak di tengah amukan. Ia tidak lebih tinggi dari panglima lainnya, namun sorot matanya—tajam seperti ujung badik yang diselipkan di pinggangnya—menebar wibawa. Dialah Daeng Riosok, panglima dari barat, penabuh genderang terakhir dari Mandar.
“Hari ini bukan soal menang atau kalah,” ujarnya kepada Daeng Mallari, sang raja Balanipa, “tetapi tentang mencatat nama di halaman yang tak bisa dibakar sejarah.”
Daeng Mallari menatap langit yang mulai redup. “Kalau kita jatuh, pastikan kita jatuh sebagai api—bukan abu.”
Perang pun pecah dalam gelegar. Tapi takdir tak berpihak. Pasukan Buton mendapat bantuan yang tak terduga, dan satu per satu bendera sekutu Gowa rubuh di tanah yang dulunya dijanjikan. Daeng Riosok bertarung dengan kemarahan seorang anak yang menyaksikan rumahnya dibakar. Tapi tubuh manusia punya batas.
Dalam pelarian yang diselimuti kabut malam, Riosok dan rajanya mematahkan rantai, menembus barisan penjaga, dan meloloskan diri. Ke Galesong mereka pergi, bukan sebagai buronan, tapi sebagai bara yang menolak padam.
Bab II: Mahkota yang Terluka
Langit Mandar pagi itu tampak menggigil, seolah bumi tahu: akan ada yang pergi, akan ada yang dipanggil.
Di anjungan rumah adat Balanipa, Daeng Mabanni duduk bersila. Wajahnya yang teduh menyimpan letih yang mendalam—bukan karena usia, melainkan karena beban yang tak lagi sanggup dipikul. Di hadapannya, berkumpul para Maradia, para bangsawan dan panglima: semuanya menanti satu kata yang akan mengubah arah sejarah Mandar.
“Aku tak lagi sanggup menjaga tanah ini,” ujar Daeng Mabanni. Suaranya pelan, namun memekakkan dada. “Tahta ini harus diserahkan pada yang lebih kuat... yang lebih rela.”
Hening menyelimuti ruangan. Tak satu pun bersuara, hingga dari ujung balai, langkah kaki terdengar. Tegap, namun tidak sombong. Tenang, namun membawa badai dalam diamnya. Daeng Riosok melangkah maju, matanya menatap lurus ke arah sang raja.
“Aku tak meminta mahkota,” ucapnya, “tapi jika negeri ini memanggil namaku, aku takkan mundur.”
Dan negeri pun menjawab lewat sorak para panglima, lewat ketukan tombak ke lantai kayu, lewat desah napas para rakyat yang haus pada ketegasan. Maka pada hari itu, di bawah rindang beringin tua dan lantunan doa para tetua, Daeng Riosok dinobatkan menjadi Raja Balanipa ke-12. Tapi mahkota yang ia kenakan bukan dari emas, melainkan dari luka dan utang yang harus dibayar kepada tanahnya.
Di malam yang sama, angin membawa bisikan dari Bone. Utusan Arung Palakka tiba, menawarkan bukan perang—melainkan perundingan. Daeng Riosok menatap pesan itu lama, lebih lama dari yang diperlukan, seakan mencoba mencium perangkap di balik huruf-hurufnya.
“Kalau musuh datang membawa salam,” gumamnya pada Daeng Daeng Maradia di sekelilingnya, “maka kita harus belajar membaca lidah ular tanpa terpikat kilau sisiknya.
Pertemuan di Lanrisang pun disusun—tanah netral yang dipilih untuk mempertemukan dua dunia: Mandar dan Bone. Di sanalah sejarah akan berbelok, bukan karena pertempuran, tetapi karena kata-kata. Dan dari perundingan itu, benih-benih kekerabatan ditanam, sekilas membawa harapan akan masa depan yang lebih damai.
Namun dalam hati Daeng Riosok, api belum sepenuhnya padam. Ia tahu, damai hari ini bisa menjadi perang besok hari. Dan ia tidak pernah menurunkan tombaknya sepenuhnya—hanya menyimpannya di bawah bantal, di sisi nyala hatinya yang tak pernah istirahat.
Bab III: Harum yang Membakar*
Musim berubah, dan angin yang pernah membawa kabar perang kini datang menyusupkan aroma asing ke pekarangan istana Mandar. Di tengah euforia kemenangan atas Luwu, dan sorak rakyat yang masih menggema dari pelabuhan hingga ladang, Daeng Riosok mulai merasa sepi—sepi yang tak bisa diobati oleh mahkota atau nyanyian pujian Lalu ia melihat sosok rupawan cantik anggung mempesona dialah perempuan jelita Ipurapara’bue.
Perempuan itu berdiri di halaman rumah tinggi, rambutnya terurai seperti tenunan sutra hitam yang dijemur sore hari. Di matanya tersimpan laut Pamboang, tenang namun dalam, dan senyumnya adalah gema yang membelah ruang di kepala Riosok. Ia adalah istri dari Daeng Tulolo—sekutunya, saudaranya seperjuangan, yang pernah bertempur bersamanya di bawah panji yang sama. Tapi hati, seperti juga sejarah, tak pernah adil.
“Wajahmu bukan sekadar cantik,” ujar Riosok dalam suatu pertemuan rahasia di tepi telaga, “kau adalah luka yang ingin kusentuh meski kutahu akan berdarah.”
Ipara’bue menatapnya lama. “Kau adalah raja, tapi tak semua bisa kau miliki.”Namun kata-kata itu justru membakar keinginan dalam diri Riosok. Ia mulai berubah. Di medan pertempuran ia masih tegas, namun pikirannya terombang-ambing. Ia memerintahkan penarikan pasukan dari batas-batas Bone, bukan demi diplomasi, tapi demi waktu untuk menjemput keinginan yang makin tak bisa dibendung.
Dan pada malam tanpa bintang, dengan pasukan kecil dan pengaruhnya sebagai raja, Daeng Riosok membawa pergi Ipara’bue. Tanpa restu. Tanpa kata pamit.
Keesokan harinya, Pamboang bergemuruh. Daeng Tulolo memanggil para panglima, bersiap menuntut kehormatan. Tapi bagaimana melawan seorang raja yang membawa seluruh kekuasaan? Pertempuran pecah, bukan di medan luas, tetapi di dalam hati rakyat yang terbagi.
Riosok menang.
Tapi tidak ada kemenangan dalam cinta yang dirampas.
Bab IV: Kematian Seorang Raja
Waktu berlalu sejak malam penculikan itu, namun luka yang ditinggalkan tak kunjung kering. Tidak di hati Daeng Tulolo yang kehilangan istri, tidak pula di dada para bangsawan yang merasa harga dirinya dihina oleh sesama darah kebangsawanan. Mandar menjadi negeri yang sunyi, bukan karena damai—melainkan karena bisu dalam amarah yang tertahan.
Di rumah-rumah tinggi di sepanjang pesisir Pitu Babana Binanga, pertemuan demi pertemuan digelar secara rahasia. Maradia Cendana, Daeng Mabanni, dan para pemuka adat berkumpul dalam gelap, menakar langkah apa yang bisa menyelamatkan kehormatan negeri. Dan satu-satunya jalan yang mereka lihat... adalah menjatuhkan sang raja sendiri.
“Riosok telah menjadi lebih besar dari takhta,” ujar Maradia Cendana. “Dan itu menjadikannya terlalu berbahaya.”
Di sisi lain, Daeng Riosok berdiri di balkon kediamannya di Marica, menatap laut malam yang tenang. Ipara’bue di sisinya, namun matanya kosong. Kemenangan yang dahulu terasa manis kini hanya meninggalkan aftertaste pahit. Ia mencium gelagat pengkhianatan dalam tatapan para tetua, dalam anggukan para panglima yang tak lagi setegas dulu.
“Jika mereka datang,” katanya lirih, “aku tidak akan lari. Aku sudah terlalu jauh untuk mundur.”
Dan benar. Mereka datang.
Malam itu, suara langkah menggetarkan tanah Marica. Pasukan gabungan bangsawan dan para pemuka adat mengepung rumah kediaman Riosok. Yang dulu adalah teman kini menjadi pemburu. Yang dulu memanggilnya raja, kini menghunus badik dalam diam.
Daeng Riosok tidak menyerah. Ia melawan, ditemani oleh segelintir pasukan yang masih setia. Pertempuran meletus—bukan di medan luas, tetapi di pekarangan rumahnya sendiri, di ruang-ruang kenangan, di antara perabotan dan dinding yang pernah menjadi saksi cinta dan takhta.
Darah mengalir.
Dan akhirnya, tubuhnya roboh di tanah Marica—mata terbuka, namun bukan dalam ketakutan. Melainkan kelegaan. Ia tahu akhir ini akan datang. Ia hanya tak tahu kapan.
Di Balanipa, takhta kembali diduduki oleh Daeng Mabanni. Namun istana tak lagi semegah dulu. Keheningan menyelimuti istana yang pernah riuh oleh sorak perang.
Nama Daeng Riosok tak disebut keras-keras. Namun di lorong-lorong pasar, di antara sisa bayang tembok benteng, rakyat mulai berbisik: “Ia mati bukan karena kalah, tetapi karena terlalu hidup sebagai raja.”
Dan jauh di Bone, Arung Palakka tersenyum kecil saat mendengar kabar kematian Riosok. Ia tahu, salah satu ancaman terbesar bagi hegemoni kekuasaannya telah hilang—bukan oleh tangannya, tetapi oleh tangan tanah Riosok sendiri.
Bayang yang Tak Pernah Reda
Waktu telah berlalu. Musim panen datang dan pergi. Istana Balanipa dibangun kembali, perjanjian-perjanjian baru ditandatangani, dan rakyat kembali pada kehidupan—seolah-olah badai itu tak pernah ada.
Namun nama Daeng Riosok masih berbisik di sela angin pesisir Mandar. Bagi sebagian, ia adalah pembelot adat. Bagi lainnya, ia adalah ksatria terakhir—yang berani melawan musuh di luar dan dalam tubuh bangsa.
Ipara’bue, yang kini tinggal dalam kesepian di balik dinding rumah panggung yang tinggi, menanam bunga di taman yang dulu menjadi tempat perjumpaan mereka. Di antara anggrek dan kemuning, ia menyembunyikan kenangan yang tak pernah bisa benar-benar ia ceritakan tanpa air mata.
Sementara itu, di lorong-lorong sejarah yang ditulis oleh para penutur lisan, nama Riosok tetap hidup: sebagai raja yang tak hanya menaklukkan tanah, tapi juga melawan adat, cinta, dan ketakdiran. Ia mati sebagai manusia, tapi dihidupkan ulang sebagai legenda.
Mereka menyebutnya _Todipolong_ —bukan hanya karena tempat ia gugur, tetapi karena warisan yang ia tinggalkan tak bisa dihapuskan oleh musuh, waktu, atau bahkan pengkhianatan.
By Tasriq.
Komentar