Daeng Riosok, Bayang Takhta, Luka Cinta_

Bab I: Langit di Atas Somba Opu Langit Makassar kala itu tidak berwarna biru. Ia terbakar merah darah dan menyatu dengan dentum meriam dari kapal-kapal VOC yang membelah ombak dengan amarah. Bau mesiu bercampur garam laut menusuk hidung, menebar isyarat bahwa dunia lama sedang menuju tepi kehancuran. Di balik benteng Somba Opu, seorang pria berdiri tegak di tengah amukan. Ia tidak lebih tinggi dari panglima lainnya, namun sorot matanya—tajam seperti ujung badik yang diselipkan di pinggangnya—menebar wibawa. Dialah Daeng Riosok, panglima dari barat, penabuh genderang terakhir dari Mandar. “Hari ini bukan soal menang atau kalah,” ujarnya kepada Daeng Mallari, sang raja Balanipa, “tetapi tentang mencatat nama di halaman yang tak bisa dibakar sejarah.” Daeng Mallari menatap langit yang mulai redup. “Kalau kita jatuh, pastikan kita jatuh sebagai api—bukan abu.” Perang pun pecah dalam gelegar. Tapi takdir tak berpihak. Pasukan Buton mendapat bantuan yang tak terduga, dan satu per satu bender...